Profil: Dapid Nurdiansyah

da

Dapid: Hadapi Saja. Kalau Gagal, Coba Lagi.

Jangan minder. Percaya diri saja. Hidup terlalu singkat hanya untuk memikirkan apa yang orang lain bilang,” Itulah pesan singkat yang Dapid Nurdiansyah lontarkan untuk kawan-kawannya yang masih berjuang menempuh pendidikan kesetaraan.

Pemuda asal Bandung, Jawa Barat itu telah lulus Pendidikan Kesetaraan Paket C (setara SMA) pada 2017 lalu. Kini, ia mengemban peran barunya sebagai Mahasiswa. Dapid, begitu Ia akrab disapa,  bercita-cita menjadi seorang Social Entrepreneur yang kelak tidak hanya berorientasi pada keuntungan dari bisnisnya, tetapi juga dapat memberikan manfaat terhadap lingkungan di sekitarnya. Untuk mencapai mimpinya tersebut, Dapid meyakini salah satu langkahnya adalah melalui jalur pendidikan. Meski pada 2017 lalu sempat tidak lolos SBMPTN, ia kembali mencoba mengikuti seleksi mahasiswa baru yang diselenggarakan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan berhasil lulus. Saat ini ia berkuliah di Fakultas Ekonomi, program studi (S1) Manajemen.

Selain aktif berkuliah, saat ini Dapid juga menyibukkan diri dalam berorganisasi. Menurutnya, kegiatan non-akademik sangat krusial perannya di era penuh persaingan saat ini. Bukan semata untuk mengisi waktu, melainkan untuk memperkaya perspektif. Salah satu kegiatan yang pernah ia ikuti adalah menjadi relawan di Asian Games 2018: Invitation Tournament pada bulan Februari lalu. Dari sana pula, Dapid menyadari satu hal bahwa pada akhirnya semua orang akan sama perlakuannya di dunia kerja, apapun latar belakang mereka. “Pada saat diberi kepercayaan untuk bekerja, ya kerjakan. Terlepas apapun latar belakang kamu. Pada intinya kerja ya kerja. Jadi, lebih melatih profesionalisme kata Dapid.

Segala sesuatu yang sudah Dapid capai itu tentunya bukan tidak dengan usaha keras. Saat ditanya mengapa dulu putus sekolah dan memilih pendidikan kesetaraan Paket C, ia menjawab bahwa sebenarnya ia sempat bersekolah SMK di salah satu sekolah formal di Tangerang, namun baru tiga bulan awal mengenyam pendidikan SMK, ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera parah di kakinya. Demi pemulihan, Dapid terpaksa berhenti bersekolah. Akibat dari kejadian itu pula Dapid harus menjalani rentetan proses pengobatan yang panjang. Sembilan bulan dirawat di rumah pengobatan alternatif,  empat kali operasi dalam dua tahun berturut-turut bukanlah proses yang mudah.

“Yang membuat saya sedih adalah melihat teman-teman seangkatan saya mempersiapkan kelulusan mereka, sementara saya masih di rumah sakit, dan bahkan belum tahu kapan bisa sekolah lagi” kenang Dapid.

Di tengah masa pengobatan itu Dapid berusaha mencari jalan untuk melanjutkan pendidikannya, hingga di suatu malam di bulan November 2014, bak gayung bersambut, ia menyaksikan sebuah tayangan di televisi yang membahas konsep pendidikan kesetaraan. Andri Rizki Putra lah yang saat itu menjadi narasumber, pemuda yang juga sempat putus sekolah itu merupakan pendiri Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB). Merasa masih ada harapan di tengah keterbatasan yang ia hadapi saat itu, Dapid memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di YPAB.

“Waktu itu saya masih pakai tongkat. Bahkan saat awal bergabung dengan YPAB, saya sempat tidak masuk beberapa minggu karena harus operasi. Ke mana-mana pakai tongkat. Rumah saya di Bogor, jadi setiap dalam perjalanan dengan kereta menuju YPAB, Tanah Abang, beberapa orang menatap iba pada saya, saya mencoba terlihat tegar saja” kenang ia dengan tawa.

Kembali bersekolah berarti kembali membangun harapan, itu yang Dapid yakini. Namun tantangan yang dihadapi ternyata tidak berakhir di sana. Menjalani pendidikan kesetaraan dengan pertemuan yang singkat dua kali seminggu – mengharuskan Dapid bergegas mengejar ketertinggalannya. Sejak awal bergabung, setiap peserta didik YPAB memang diberikan pemahaman bahwa kemandirian adalah hal utama yang harus dipegang dalam proses belajar dan itu disadari penuh oleh Dapid. “Sejak awal memang ditekankan bahwa pertemuan kita hanya dua kali dalam seminggu. Di luar itu, kita sendiri yang dituntut aktif. Cari tahu apa yang belum kita tahu secara mandiri. Dan pada saat pertemuan, baru kita ulas bersama para tutor” tegas Dapid.

Dapid yang sedari awal di YPAB menargetkan untuk bisa berkuliah sadar bahwa tujuan yang ingin dicapainya bukanlah tujuan yang mudah. Terlebih ia tahu betul, pesaingnya di luar sana, yang juga ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri adalah mereka yang datang dari berbagai sekolah ternama dengan dibekali modal dan kesiapan yang cukup. Namun, keterbatasan sudah menjadi mata pelajaran dasar baginya. “Hadapi saja. Kalau gagal, coba lagi. Sebagaimana tidak ada mimpi yang terlalu tinggi. Mungkin hanya usaha yang kurang kuat” kata Dapid dengan penuh keyakinan. Terbukti, berkat usaha kerasnya, saat pengumuman hasil Ujian Nasional tahun 2017 lalu, Dapid menjadi peraih nilai tertinggi di lokasi ujian.

Bergabung dengan YPAB, telah banyak mengubah perspektif Dapid tentang banyak hal, salah satunya pendidikan. Menurut Dapid, beberapa orang termasuk dirinya seringkali menganggap pendidikan hanya sebagai cara untuk mendapatkan pekerjaan saja, namun bila dipahami lebih jauh, pendidikan sebenarnya punya banyak manfaat, “YPAB adalah salah satunya, bahwa ternyata ada orang-orang yang sudah mapan secara pendidikan dan karir tapi masih ingin berkontribusi dan memperbaiki pendidikan di Indonesia” tutur pemuda kelahiran 1997 itu. Hal itu pula yang menginspirasi Dapid untuk kelak setelah lulus dapat kembali ke YPAB dan menjadi relawan tutor.

Sebagai alumni jebolan pendidikan kesetaraan, Dapid juga berharap adanya peningkatan kualitas pendidikan non-formal dan bukan hanya secara konsep sederajat, namun benar-benar dianggap setara di masyarakat, sebab seringkali ijazah pendidikan kesetaraan dianggap lebih rendah secara kualitas pendidikan. Di sisi lain, Dapid juga berharap semakin banyak PKBM lain yang hadir sebagai rumah bagi mereka yang putus sekolah, sekaligus menyadarkan bahwa mereka masih punya harapan.

(Kristina Damayanti)

Comments are closed.